Puas meski Mengalami Kepedihan
Kisah Hidup
Puas meski Mengalami Kepedihan
SEBAGAIMANA DICERITAKAN OLEH AUDREY HYDE
Sewaktu mengenang lebih dari 63 tahun dalam dinas sepenuh waktu—59 tahun di kantor pusat Saksi-Saksi Yehuwa sedunia—saya dapat mengatakan bahwa saya menikmati kehidupan yang memuaskan. Memang, saya sangat terpukul melihat suami pertama saya meninggal karena digerogoti penyakit kanker dan suami kedua saya menderita akibat-akibat yang mengerikan dari penyakit Alzheimer. Tetapi, saya ingin menceritakan bagaimana saya mempertahankan sukacita meski mengalami kesusahan.
SAYA dibesarkan di sebuah perladangan dekat kota kecil Haxtun di dataran Kolorado bagian timur laut, dekat perbatasan Nebraska, Amerika Serikat. Saya adalah yang kelima dari enam anak pasangan Orille dan Nina Mock. Russell, Wayne, Clara, dan Ardis lahir antara tahun 1913 dan 1920, dan saya menyusul tahun berikutnya. Curtis lahir pada tahun 1925.
Pada tahun 1913, Ibu menjadi salah seorang Siswa-Siswa Alkitab, sebutan bagi Saksi-Saksi Yehuwa pada waktu itu. Belakangan, kami pun mengikuti jejaknya.
Kehidupan yang Penuh Makna di Perladangan
Ayah adalah orang yang berpikiran maju. Semua bangunan di perladangan kami diterangi lampu listrik, hal yang belum umum pada masa itu. Namun, kami juga menikmati hasil perladangan tradisional kami—telur ayam, susu sapi, krim, dan mentega. Kami menggunakan kuda untuk menggarap tanah dan menanam arbei, kentang, gandum, serta jagung.
Menurut ayah, kami anak-anaknya harus belajar bekerja. Bahkan sebelum bersekolah,
saya dilatih bekerja di ladang. Saya ingat saat harus mencangkul pada siang bolong di musim panas. ’Kapan selesainya, nih?’ pikir saya. Keringat bercucuran di sekujur tubuh saya, dan kawanan lebah menyengat saya. Kadang-kadang, saya sedih karena kami harus bekerja lebih keras daripada teman-teman kami. Namun, sewaktu menengok kembali ke masa kecil saya, saya sangat bersyukur bahwa kami diajar bekerja.Kami masing-masing diberi tugas. Karena Ardis lebih pintar memerah susu daripada saya, saya ditugasi membersihkan kandang kuda, membuangi kotorannya. Meski sibuk bekerja, kami juga bisa bermain dan bersenang-senang. Saya dan Ardis bergabung dengan tim sofbol di daerah kami. Kami bermain pada posisi yang berbeda-beda.
Langit di padang pada malam yang cerah sangat indah. Ribuan bintang mengingatkan saya pada Pencipta kita, Allah Yehuwa. Bahkan selagi bocah, saya merenungkan Mazmur 147:4, yang berbunyi, ”Ia [Yehuwa] menghitung jumlah bintang; semuanya ia panggil dengan namanya.” Sering kali pada malam-malam yang cerah tersebut, anjing kami Judge akan menaruh kepalanya di pangkuan saya dan menemani saya. Saya sering duduk di beranda pada sore hari dan mengagumi ladang gandum yang ditiup angin, yang tampak keperak-perakan diterpa sinar mentari.
Teladan Ibu
Ibu adalah istri yang penuh pengabdian. Ibu mengajar kami untuk selalu merespek Ayah sebagai kepala keluarga. Pada tahun 1939, Ayah menjadi salah seorang Saksi-Saksi Yehuwa. Kami tahu bahwa Ayah mencintai kami meski ia mengharuskan kami bekerja keras dan tidak memanjakan kami. Pada musim dingin, ia sering mengajak kami berkeliling dengan kereta luncur yang ditarik beberapa kuda. Alangkah senangnya kami melihat salju yang berkilauan!
Namun, Ibulah yang mengajar kami untuk mengasihi Allah dan merespek Alkitab. Kami belajar bahwa nama Allah adalah Yehuwa dan bahwa Ia adalah Sumber kehidupan. (Mazmur 36:9; 83:18) Kami juga belajar bahwa Yehuwa memberikan pedoman-pedoman, bukan untuk merampas sukacita kami, melainkan demi kebaikan kami. (Yesaya 48:17) Ibu berulang-ulang menegaskan bahwa kita semua mempunyai tugas khusus. Kami tahu bahwa Yesus mengatakan kepada para pengikutnya, ”Kabar baik kerajaan ini akan diberitakan di seluruh bumi yang berpenduduk sebagai suatu kesaksian kepada semua bangsa; dan kemudian akhir itu akan datang.”—Matius 24:14.
Pada masa-masa itu, jika Ibu tidak ada di rumah setiap kali saya pulang sekolah, saya akan pergi mencarinya. Suatu hari ketika saya berusia
enam atau tujuh tahun, saya mendapati Ibu di lumbung. Kemudian, turunlah hujan yang sangat deras. Kami berada di loteng lumbung, dan di sana saya bertanya apakah Allah akan mendatangkan Air Bah lagi. Ia meyakinkan saya bahwa Allah telah berjanji tidak akan pernah membinasakan bumi dengan banjir lagi. Saya juga ingat bahwa kami kerap kali harus berlari ke tempat perlindungan bawah tanah karena angin tornado sering melanda daerah kami.Bahkan sebelum saya lahir, Ibu sudah ikut mengabar. Rumah kami menjadi tempat berkumpul sekelompok orang yang memiliki harapan hidup bersama Kristus di surga. Walaupun mengabar merupakan hal yang sulit bagi Ibu, kasihnya kepada Allah mengalahkan perasaan takutnya. Ia setia hingga kematiannya pada tanggal 24 November 1969, dalam usia 84 tahun. ”Bu, Ibu akan pergi ke surga dan akan tinggal bersama orang-orang yang Ibu kenal,” bisik saya di telinganya. Saya senang karena bisa berada bersama Ibu saat itu dan menyatakan keyakinan saya kepadanya! Ia dengan lirih berkata, ”Kamu baik sekali, Nak.”
Kami Mulai Merintis
Pada tahun 1939, Russell menjadi perintis, sebutan bagi penginjil sepenuh waktu dari Saksi-Saksi Yehuwa. Ia merintis di Oklahoma dan Nebraska hingga tahun 1944. Pada tahun itu, ia diundang untuk melayani di kantor pusat Saksi-Saksi Yehuwa sedunia (disebut Betel), di Brooklyn, New York. Saya mulai merintis pada tanggal 20 September 1941, dan melayani di berbagai tempat di Kolorado, Kansas, dan Nebraska. Tahun-tahun tersebut merupakan masa yang membahagiakan, bukan saja karena saya dapat membantu orang lain belajar tentang Yehuwa, melainkan juga karena saya belajar bersandar kepada-Nya.
Sewaktu Russell mulai merintis, Wayne kuliah di pesisir timur setelah sempat bekerja selama beberapa waktu. Kemudian, Wayne diundang ke Betel. Ia melayani selama sebelas tahun di Perladangan Kerajaan, dekat Ithaca, New York. Di sana, ada lahan pertanian yang memasok kebutuhan makanan untuk sejumlah kecil keluarga Betel di perladangan dan 200 pekerja di Betel Brooklyn. Wayne menggunakan keterampilan dan pengalamannya untuk melayani Yehuwa hingga ia meninggal pada tahun 1988.
Kakak saya, Ardis, menikah dengan James Kern, dan mereka memiliki lima anak. Ardis meninggal pada tahun 1997. Kakak perempuan yang lain, Clara, masih setia kepada Yehuwa hingga sekarang, dan setiap kali saya cuti, saya berkunjung ke rumahnya di Kolorado. Adik lelaki bungsu kami, Curtis, mulai bekerja di Betel Brooklyn pada tahun 1947. Ia mengemudikan truk ke dan dari Perladangan Kerajaan mengangkut berbagai barang dan hasil ladang. Ia tetap melajang hingga kematiannya pada tahun 1971.
Cita-Cita Saya—Dinas Betel
Kakak-kakak lelaki saya sudah lebih dulu memasuki dinas Betel, dan saya bercita-cita untuk melayani di sana juga. Saya yakin bahwa berkat teladan merekalah saya diundang. Keinginan saya untuk melayani di Betel terpupuk setelah mendengarkan Ibu berbicara tentang sejarah organisasi Allah dan melihat sendiri penggenapan nubuat Alkitab berkenaan dengan hari-hari terakhir. Saya berikrar kepada Yehuwa dalam doa
bahwa seandainya Ia mengizinkan saya melayani di Betel, saya tidak akan keluar kecuali ada kewajiban Kristen yang harus saya urus.Saya mulai bekerja di Betel pada tanggal 20 Juni 1945, dan ditugasi sebagai penata graha. Setiap hari, saya harus membersihkan 13 kamar serta 26 tempat tidur, ditambah koridor, tangga, dan jendela. Pekerjaannya berat. Tiap hari selagi bekerja, saya berkali-kali berkata kepada diri saya, ’Memang, kamu capek, tapi kamu ada di Betel, di rumah Allah!’
Pada awal pelayanan saya di Betel, saya mengalami hal yang sangat memalukan. Karena dibesarkan di pedesaan, saya tidak tahu apa yang dimaksud dengan dumbwaiter. Nah, suatu hari saat sedang bekerja saya menerima pesan lewat telepon, ”Tolong turunkan dumbwaiter!” Si penelepon segera menutup teleponnya sehingga saya tidak tahu harus berbuat apa. Tetapi, saya ingat ada seorang saudara yang tinggal di area kerja saya yang bertugas sebagai waiter (pramusaji). Maka, saya mengetuk pintu kamarnya dan berkata, ”Kamu diminta turun ke dapur.” Ternyata, dumbwaiter adalah sebuah alat untuk mengangkut barang atau bahan makanan dari satu lantai ke lantai lain.
Menikah dengan Nathan Knorr
Sejak tahun 1920-an, anggota Betel yang akan menikah harus keluar dari Betel dan melayani kepentingan Kerajaan di tempat lain. Tetapi pada awal tahun 1950-an, beberapa orang yang sudah lama melayani di Betel diperbolehkan untuk tetap tinggal setelah menikah. Jadi sewaktu Nathan H. Knorr, yang pada masa itu bertanggung jawab untuk mengawasi pekerjaan Kerajaan sedunia, tertarik pada saya, saya berpikir, ’Nah, ini dia orang yang pasti tidak akan keluar dari Betel!’
Nathan sangat terus terang kepada saya, ia memberikan banyak pertimbangan untuk saya pikirkan masak-masak sebelum menerima lamarannya. Pada masa itu, karena ia memiliki tanggung jawab untuk mengawasi kegiatan Saksi-Saksi Yehuwa sedunia, ia banyak mengadakan perjalanan ke kantor-kantor cabang di seluruh dunia dan sering bepergian selama berminggu-minggu. Jadi, ia menjelaskan bahwa kami akan terpisah untuk rentang waktu yang lama.
Semasa gadis, saya bermimpi untuk menikah pada musim semi dan berbulan madu di salah satu kepulauan Pasifik, Hawaii. Tetapi ternyata, setelah kami menikah pada musim dingin, tanggal 31 Januari 1953, kami berbulan madu sepanjang akhir pekan saja di dekat Betel, yaitu di New Jersey, dan pada hari Seninnya, kami kembali bekerja. Namun, seminggu kemudian kami pergi juga berbulan madu selama satu pekan.
Suami Pekerja Keras
Nathan berusia 18 tahun sewaktu ia mulai bekerja di Betel pada tahun 1923. Ia menerima pelatihan yang berguna dari saudara-saudara kawakan, seperti Joseph F. Rutherford, yang memimpin
pekerjaan Saksi-Saksi, dan manajer percetakan, Robert J. Martin. Ketika Saudara Martin meninggal pada bulan September 1932, Nathan menggantikannya. Pada tahun berikutnya, Saudara Rutherford mengajak Nathan mengunjungi kantor-kantor cabang Saksi-Saksi Yehuwa di Eropa. Ketika Saudara Rutherford meninggal pada bulan Januari 1942, Nathan diserahi tanggung jawab untuk mengawasi pekerjaan Saksi-Saksi Yehuwa sedunia.Nathan berpikiran sangat maju, selalu membuat perencanaan untuk pertumbuhan di masa depan. Ada yang menganggap hal itu tidak perlu, karena berpikir akhir sistem ini sudah sangat dekat. Malah, seorang saudara yang melihat rencana-rencana Nathan, bertanya, ”Apa-apaan ini, Broer? Apa Broer tidak punya iman?” Nathan menjawab, ”Bukan begitu. Saya punya iman, tapi seandainya akhir itu tidak datang secepat yang kita duga, kita sudah siap.”
Salah satu gagasan yang ingin Nathan wujudkan adalah mendirikan sekolah bagi para utusan injil. Jadi, pada tanggal 1 Februari 1943, dimulailah sekolah utusan injil di perladangan tempat kakak saya Wayne melayani saat itu. Meskipun sekolah yang berlangsung selama lima bulan tersebut mengharuskan para siswa belajar Alkitab secara mendalam, Nathan memastikan agar mereka juga menikmati waktu santai. Pada kelas-kelas awal ia ikut bermain bola, tetapi belakangan ia tidak ikut main lagi karena takut cedera dan tidak bisa hadir pada kebaktian distrik. Ia memilih menjadi wasit. Para siswa senang bila ia sengaja mengabaikan aturan main demi para siswa asing.
Bepergian bersama Nathan
Belakangan, saya mulai bepergian ke luar negeri bersama suami saya. Saya senang berbagi pengalaman dengan para relawan kantor cabang dan utusan injil. Saya dapat melihat sendiri kasih dan pengabdian mereka, dan saya belajar tentang keseharian mereka serta kondisi kehidupan di negeri tempat mereka bertugas. Selama tahun-tahun tersebut, saya sering mendapat surat yang menyatakan penghargaan atas kunjungan-kunjungan demikian.
Seraya mengenang perjalanan kami, saya mengingat banyak pengalaman. Misalnya, ketika kami di Polandia, dua saudari berbisik-bisik di depan saya. Saya bertanya, ”Mengapa kalian berbisik-bisik?” Mereka meminta maaf dan menjelaskan bahwa mereka terbiasa berbisik-bisik, karena tadinya rumah mereka dipasangi alat penyadap selama pekerjaan Saksi-Saksi Yehuwa di Polandia dilarang.
Saudari Adach adalah salah seorang di antara banyak Saksi yang melayani selama masa pelarangan di Polandia. Rambutnya keriting dan berponi. Suatu ketika ia menyibakkan poninya dan memperlihatkan kepada saya bekas luka yang dalam karena dianiaya. Saya ngeri ketika melihat sendiri akibat perlakuan kejam yang harus dialami saudara-saudari kita.
Tempat favorit saya lainnya, setelah Betel, adalah Hawaii. Saya mengingat kebaktian yang diselenggarakan di kota Hilo, Hawaii, pada tahun 1957. Kebaktian tersebut merupakan sebuah peristiwa besar, dan hadirinnya lebih banyak daripada jumlah Saksi-Saksi Yehuwa di sana. Walikota Hilo bahkan menyerahkan kunci kota kepada Nathan sebagai suatu bentuk penyambutan resmi. Banyak yang menyambut kami, dan kami dikalungi banyak untaian bunga.
Kebaktian lain yang mendebarkan diselenggarakan pada tahun 1955 di Nuremberg, Jerman, di tempat yang dulunya digunakan oleh tentara Hitler untuk berpawai. Banyak orang tahu bahwa Hitler pernah bersumpah untuk memunahkan umat Yehuwa di Jerman, tetapi kini stadion tersebut dipenuhi oleh Saksi-Saksi Yehuwa! Saya tidak sanggup menahan air mata saya. Panggungnya sangat megah dan berlatar 144 pilar besar yang mengesankan. Saya berada di panggung dan dapat memandangi hadirin yang begitu banyak yang berjumlah lebih dari 107.000 orang. Karena
jarak hadirin di barisan depan dan barisan belakang sangat jauh, saya nyaris tidak dapat melihat hadirin yang ada di barisan paling belakang.Kami dapat melihat integritas saudara-saudara di Jerman dan kekuatan yang mereka dapatkan dari Yehuwa selama mereka dianiaya di bawah pemerintahan Nazi. Tekad kami untuk berlaku loyal dan mempertahankan integritas kepada Yehuwa semakin diteguhkan. Nathan menyampaikan khotbah penutup, dan pada akhir khotbah, ia melambaikan tangan kepada hadirin. Mereka segera menyambut dengan melambai-lambaikan saputangan sebagai tanda perpisahan. Pemandangannya bagaikan padang bunga yang indah.
Yang tak terlupakan juga adalah kunjungan kami ke Portugal pada bulan Desember 1974. Di Lisbon, kami menghadiri pertemuan besar Saksi-Saksi yang pertama kali diadakan setelah pekerjaan pengabaran di Portugal disahkan. Pekerjaan di sana telah dilarang selama 50 tahun! Meskipun hanya ada 14.000 penyiar Kerajaan di Portugal saat itu, ada lebih dari 46.000 orang yang hadir pada dua pertemuan besar di dua kota. Air mata saya berlinang ketika saudara-saudara berkata, ”Kita tidak usah sembunyi-sembunyi lagi. Kita bebas.”
Sejak saya bepergian bersama Nathan, saya suka melakukan kesaksian tidak resmi—di pesawat terbang, di restoran—dan kesaksian di jalan. Saya selalu membawa lektur supaya saya bisa siap setiap saat. Pernah, ketika kami sedang menunggu pesawat yang tertunda, seorang wanita menanyakan apa pekerjaan saya. Pertanyaan itu mengarah ke sebuah percakapan dengannya dan dengan orang-orang di sekeliling kami yang turut mendengarkan. Dinas Betel dan kegiatan pengabaran telah membuat saya tetap sibuk dan sangat berbahagia.
Penyakit dan Nasihat Perpisahan
Pada tahun 1976, Nathan menderita karena sakit kanker. Saya merawatnya bersama staf Betel. Meski kesehatannya memburuk, kami mengundang ke kamar kami para anggota kantor cabang dari berbagai negeri yang sedang menjalani pelatihan di Brooklyn. Saya mengingat kunjungan Don dan Earlene Steele, Lloyd dan Melba Barry, Douglas dan Mary Guest, Martin dan Gertrud Poetzinger, Pryce Hughes, dan banyak lainnya. Mereka sering menceritakan pengalaman dari negeri mereka. Saya khususnya terkesan oleh pengalaman tentang keteguhan saudara-saudara kita di bawah pelarangan.
Ketika Nathan tahu bahwa ia sudah hampir meninggal, ia memberi saya wejangan untuk membantu saya menghadapi kehidupan sebagai janda. Ia berkata, ”Perkawinan kita bahagia. Banyak orang tidak pernah mengalaminya.” Satu hal yang membuat perkawinan kami bahagia adalah sikap Nathan yang bertimbang rasa. Sebagai contoh, sewaktu kami berjumpa dengan banyak orang dalam perjalanan kami, dia akan mengatakan kepada saya, ”Audrey, kalau kadang-kadang saya tidak memperkenalkan mereka kepadamu, itu artinya saya lupa nama mereka.” Saya senang karena ia memberi tahu saya terlebih dahulu.
Nathan mengingatkan saya, ”Setelah kematian, ada harapan yang pasti bagi kita, dan kita tidak akan pernah menderita lagi.” Lalu ia menganjurkan saya, ”Tataplah ke depan, sebab upah menantimu. Jangan hidup di masa lalu—meski kenangan tak akan pupus. Waktulah yang akan menyembuhkanmu. Jangan bersedih hati dan mengasihani diri. Bersyukurlah karena kamu telah menikmati sukacita dan berkat. Tak lama lagi, kenangan akan membuatmu bersukacita. Kenangan adalah karunia Allah bagi kita.” Ia menambahkan, ”Teruslah sibuk—cobalah gunakan hidupmu untuk berbuat sesuatu demi orang-orang lain. Dengan demikian, kamu akan memperoleh sukacita dalam kehidupan.” Pada tanggal 8 Juni 1977, berakhirlah babak kehidupan Nathan di bumi.
Menikah dengan Glenn Hyde
Seperti yang Nathan katakan, saya bisa saja tetap tinggal di masa lalu bersama kenangan saya atau membangun kehidupan yang baru. Maka pada tahun 1978, setelah saya pindah ke Perladangan Menara Pengawal di Wallkill, New York, saya menikah dengan Glenn Hyde, seorang saudara yang sangat tampan, tenang, dan
lembut. Sebelum menjadi Saksi, ia berdinas di Angkatan Laut sewaktu Amerika Serikat berperang dengan Jepang.Glenn bertugas di ruang mesin sebuah kapal patroli. Karena bisingnya suara mesin, ia kehilangan sebagian pendengarannya. Seusai perang, ia bekerja sebagai petugas pemadam kebakaran. Selama bertahun-tahun, ia masih mendapat mimpi buruk karena pengalamannya semasa perang. Ia mempelajari kebenaran Alkitab dari sekretaris di kantornya, yang memberikan kesaksian secara tidak resmi kepadanya.
Kemudian, pada tahun 1968, Glenn diundang untuk melayani di Betel Brooklyn sebagai petugas pemadam kebakaran. Dan sewaktu Perladangan Menara Pengawal memiliki mobil pemadam kebakaran, ia dipindahkan ke sana pada tahun 1975. Belakangan, ia terserang penyakit Alzheimer. Setelah kami menikah selama sepuluh tahun, Glenn meninggal.
Bagaimana saya bisa menghadapi semua ini? Wejangan yang Nathan berikan menjelang kematiannya sekali lagi menghibur saya. Saya berulang-ulang membaca wejangannya tentang menghadapi kehidupan sebagai janda. Saya masih suka membagikan wejangan tersebut kepada mereka yang kehilangan teman hidup, dan mereka pun terhibur. Ya, lebih baik menatap ke depan, seperti yang Nathan sarankan kepada saya.
Persaudaraan yang Berharga
Yang khususnya membuat kehidupan saya memuaskan dan bahagia adalah teman-teman yang baik di Betel. Salah satu di antaranya adalah Esther Lopez, yang lulus pada tahun 1944 dari Sekolah Alkitab Gilead Menara Pengawal kelas ketiga. Ia kembali ke Brooklyn pada bulan Februari 1950 untuk melayani sebagai penerjemah lektur Alkitab kita ke dalam bahasa Spanyol. Dulu, semasa Nathan sering bepergian, Esther-lah yang menemani saya. Ia juga bekerja di Perladangan Menara Pengawal. Kini, di usia 95-an, kesehatannya memburuk dan ia dirawat di klinik Betel.
Dari keluarga saya, hanya Russell dan Clara yang masih hidup. Russell berusia lebih dari 90 tahun dan masih setia melayani di Betel Brooklyn. Ia termasuk di antara orang-orang pertama yang boleh tetap tinggal di Betel setelah menikah. Pada tahun 1952, ia menikahi sesama anggota Betel, Jean Larson. Saudara lelaki Jean, Max, mulai bekerja di Betel pada tahun 1939 dan menjadi penerus Nathan sebagai pengawas percetakan pada tahun 1942. Max masih mengemban banyak tanggung jawab di Betel, termasuk merawat istri tercintanya, Helen, yang harus bergulat dengan penyakit sklerosis multipel.
Sewaktu mengenang kembali lebih dari 63 tahun dalam dinas sepenuh waktu kepada Yehuwa, saya dapat mengatakan bahwa saya menikmati kehidupan yang benar-benar memuaskan. Betel menjadi rumah saya, dan saya terus melayani di sini dengan hati yang bersukacita. Saya berterima kasih kepada orang tua saya karena menanamkan dalam diri kami apa artinya bekerja dan hasrat untuk melayani Yehuwa. Namun, yang benar-benar membuat kehidupan saya memuaskan adalah persaudaraan yang menakjubkan dan harapan untuk hidup bersama saudara-saudari kita dalam firdaus di bumi, melayani Pencipta Agung kita, satu-satunya Allah yang benar, Yehuwa, untuk selama-lamanya.
[Gambar di hlm. 24]
Orang tua saya pada hari pernikahan mereka, Juni 1912
[Gambar di hlm. 24]
Dari kiri ke kanan: Russell, Wayne, Clara, Ardis, saya, dan Curtis, 1927
[Gambar di hlm. 25]
Diapit Frances dan Barbara McNaught sewaktu merintis, 1944
[Gambar di hlm. 25]
Di Betel, 1951. Dari kiri ke kanan: Saya, Esther Lopez, dan kakak ipar saya, Jean
[Gambar di hlm. 26]
Bersama Nathan dan mertua saya
[Gambar di hlm. 26]
Bersama Nathan, 1955
[Gambar di hlm. 27]
Bersama Nathan di Hawaii
[Gambar di hlm. 29]
Bersama Glenn, suami kedua saya